Dua Negara Ini Jadi Mesin Uang Baru Dunia, Siapa?
Foto: Pengunjung mengambil foto gedung cermin Maraya di Al Ula, Arab Saudi, Selasa, 6 November 2022. (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)
Jakarta, CNBC Indonesia – Naiknya kembali harga komoditas energi, terutama harga minyak mentah dunia membuat negara-negara di Timur Tengah, utamanya Arab Saudi dan negara-negara teluk lainnya banyak diuntungkan dengan kenaikan harga minyak.
Kerajaan-kerajaan di Timur Tengah yang menginginkan pengaruh global kini sedang menikmati momen penting di panggung keuangan dunia.
Mereka dibanjiri uang tunai akibat ‘booming’ energi pada saat para pemodal tradisional Barat yang terhambat oleh kenaikan suku bunga mengundurkan diri dari pembuatan kesepakatan dan investasi swasta.
Bahkan, Sovereign Wealth Fund(SWF) di kawasan ini telah menjadi ‘ATM’ yang populer untuk ekuitas swasta, modal ventura, dan dana real estate yang berupaya mengumpulkan dana di negara lain.
Tak hanya itu, Timur Tengah juga menjadi pasar merger dan akuisisi besar-besaran, di mana aksi korporasi tersebut telah mengalami lonjakan minat dari wilayah ini.
Kesepakatan yang baru-baru ini diumumkan termasuk pembelian manajer investasi Fortress senilai lebih dari US$ 2 miliar (Rp 30,69 triliun) oleh SWF Abu Dhabi dan pembelian unit penerbangan Standard Chartered oleh pemberi pinjaman global senilai US$ 700 juta oleh SWF Arab Saudi.
“Kini, semua orang ingin pergi ke Timur Tengah, ini seperti demam emas di Amerika pada suatu waktu,” kata Peter Jädersten, pendiri perusahaan penasihat penggalangan dana Jade Advisors, dikutip dari Wall Street Journal (WSJ).
Harga minyak kembali meninggi imbas dari ulah Arab Saudi dan Rusia yang memperpanjang pengurangan pasokan minyak secara sukarela hingga akhir tahun. Bahkan harga minyak sempat menyentuh level tertingginya sejak awal tahun pada pekan lalu.
Sepanjang pekan lalu, harga minyak mentah WTI melesat 2,29% pekan ini ke posisi US$ 85,51 per barel melanjutkan penguatannya pada pekan sebelumnya. Sementara, jenis Brent melejit 2,37% ke posisi US$ 90,65 per barel juga melanjutkan penguatannya pada pekan sebelumnya yang mencapai 4,82%.
Arab Saudi dan Rusia merupakan dua eksportir minyak terbesar dunia, memperpanjang pengurangan pasokan secara sukarela hingga akhir tahun. Pemotongan ini merupakan tambahan dari pemotongan produksi pada bulan April yang disepakati oleh beberapa produsen OPEC+ yang berlaku hingga akhir tahun 2024.
Keduanya juga memperpanjang pengurangan pasokan minyak secara sukarela hingga akhir tahun. Pemotongan yang dilakukan Saudi sebesar 1 juta barel per hari (bpd) sementara Rusia telah memangkas 300.000 barel per hari.
Kedua negara akan meninjau keputusan pemotongan tersebut setiap bulan untuk mempertimbangkan memperdalam pemotongan atau meningkatkan produksi tergantung pada kondisi pasar.
Sementara itu, lima tahun yang lalu, para pejabat Arap Saudi menyaksikan gelombang eksekutif keuangan AS menarik diri dari konferensi investasi gratis di Riyadh setelah pembunuhan seorang jurnalis pembangkang menjadikan kerajaan itu tempat yang beracun untuk melakukan bisnis.
Pada tahun ini, konferensi yang bertajuk “Davos in Desert” ini memperkirakan banyaknya permintaan sehingga membebankan biaya kepada para eksekutif sebesar US$ 15.000 per orang.
Para pengelola dana yang mengunjungi wilayah tersebut mengatakan bahwa mereka sering menunggu di depan para pesaingnya di ruang tunggu dana kekayaan negara.
Para manajer di Silicon Valley dan New York hampir selalu hadir di lobi Four Seasons Abu Dhabi yang berlantai marmer putih, seperti halnya hotel-hotel terkemuka lainnya.
Konferensi di Riyadh bulan depan, yang dianggap menjadi proyek kesayangan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman yang dikenal sebagai Inisiatif Investasi Masa Depan, diperkirakan akan menjadi magnet bagi para pemburu uang.
Pada 2018 silam, para eksekutif Wall Street mundur setelah agen Arab Saudi membunuh jurnalis Jamal Khashoggi, dan selama bertahun-tahun banyak perusahaan rintisan dan dana mengatakan mereka menghindari investasi dari negara tersebut karena masalah moral.
Namun, pendanaan dari Arab Saudi menjadi lebih diminati tahun lalu ketika dana lain mulai menipis. Pada konferensi tahun lalu, kepala Dana Investasi Publik Arab Saudi, Yasir Al Rumayyan, duduk dalam diskusi panel dengan dua eksekutif perusahaan investasi terbesar di dunia, Stephen Schwarzman dari Blackstone dan Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates.
Nama-nama terkemuka di modal ventura beragam dan bahkan juga turut hadir kepala FTX Sam Bankman Fried.
Dominasi baru di kawasan ini paling jelas terlihat pada dana swasta, yaitu jenis dana yang mengunci uang investor selama bertahun-tahun.
Meskipun statistik terperinci masih langka. Namun, data dari dua SWF terbesar menunjukkan adanya lonjakan.
Di PIF Saudi (SWF-nya Arab Saudi), komitmen untuk ‘sekuritas investasi’ naik menjadi US$ 56 miliar (Rp 859,32 triliun) pada 2022, dari sebelumnya sebesar US$ 33 miliar (Rp 506,39 triliun) pada tahun lalu. Mubadala dari Abu Dhabi melaporkan bahwa komitmen ekuitas meningkat dua kali lipat menjadi US$ 18 miliar (Rp 276,21 triliun) pada 2022.
Ketika Timur Tengah mulai mengambil langkah maju, para pendukung dana investasi tradisional seperti dana pensiun dan dana abadi perguruan tinggi, telah mengalami kemunduran.
Pergeseran global ke tingkat suku bunga yang lebih tinggi menyebabkan kerugian pada sebagian besar portofolio mereka, terutama saham dan obligasi.
Investor memasukkan dana sebesar US$ 33 miliar (Rp 506,39 triliun) ke dana modal ventura yang berbasis di AS pada paruh pertama tahun 2023, kurang dari setengah US$ 74 miliar pada periode yang sama tahun 2021, menurut PitchBook.
Penggalangan dana global untuk semua dana swasta turun 10% tahun lalu menjadi US$ 1,5 triliun, menurut Preqin.
“Penggalangan dana menjadi jauh lebih sulit selama 12 bulan terakhir,” kata Brenda Rainey, wakil presiden eksekutif di Bain & Co. yang memberi nasihat pada dana ekuitas swasta.
Di lain sisi, ada dua alasan mengapa lonjakan pendanaan dan pembuatan kesepakatan di kawasan ini terjadi.
Pertama, harga energi yang lebih tinggi telah memberikan dana tambahan bagi negara-negara yang bergantung pada minyak dan gas sebesar puluhan miliar dolar untuk dibelanjakan.
Hal ini berarti penurunan harga minyak dapat dengan cepat menyebabkan mundurnya negara-negara Teluk, seperti yang terjadi pada masa ‘booming’ energi yang kemudian berakhir dengan kehancuran di masa lalu.
Kedua, pada saat yang sama, Pangeran Arab Saudi Mohammed dan pejabat tinggi di Uni Emirat Arab telah berebut pengaruh yang lebih besar di panggung dunia, terutama di bidang geopolitik, keuangan, dan olahraga. Mereka memberikan dana tambahan ke dalam dana kekayaan mereka untuk melakukan transaksi dan memperluas industri di dalam negeri.